GPOP-Momentum yang ditunggu-tunggu nih bagi warga Tionghoa. Yups, Tahun Baru Imlek. Saatnya kumpul bersama keluarga besar. Menikmati hidangan khas ala Imlek. Bagi-bagi angpau. Tidak ketinggalan kesenian Barongsai juga selalu dinanti.

Sebagai warga Tionghoa yang sudah tidak tinggal di Tiongkok, menjadi kewajiban bagi generasi mudanya untuk melestarikan adat, budaya dan kesenian nenek moyangnya, di manapun mereka berada. Di Palangka Raya contohnya, tradisi Tahun Baru Imlek masih rutin kita jumpai bagi mereka yang merayakannya.

“Tahun ini kami merayakan Tahun Baru Imlek dengan penuh suka cita. Momentum setahun sekali yang tentu saja banyak harapan di tahun depan,” kata pemudha Buddhis Jeanny Franesha Tjia.

Imlek tahun 2024 ini merupakan Tahun Naga Kayu dipercaya memiliki penuh energi, melambangkan keberuntungan, kesuksesan, dan impian untuk mengubah dunia

Setiap Imlek, warga Tionghoa menaruh harapan positif untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Seperti lancar rezeki, lancar usaha, diberikan kesehatan untuk diri dan keluarga, bahkan berharap diberikan keberkahan untuk semua mahkluk.

“Bersyukur, setiap Imlek selalu terasa kebaikan. Sesuai harapan kami, setiap tahun ke tahun berikutnya terasa kebaikannya,” ucapnya saat dibincangi di Vihara Avalokitesvara, Jalan Tjilik Riwut, kilometer 9,5 Palangka Raya.

Perayaan Imlek juga menjadi momentum untuk mempererat tali silaturahmi bagi kaum Tionghoa, apapun itu agamanya. Untuk itu, kumpul keluarga menjadi momentum yang tidak terlewatkan dalam merayakan Tahun Baru Imlek.

“Dengan menyantap hidangan khas Imlek seperti kue keranjang, kue bulan, ada pula lontong dan beberapa makan lainnya,” ujarnya.

Tentu senang bukan, momentum yang ditunggu-tunggu ini bisa dijalankan setiap tahun, tetap lestari dari setiap generasi. Vihara Avalokitesvara selalu dihias indah menjelang Imlek. Lampion terpasang indah menghiasi halaman dan sekitaran tempat ibadah kaum Buddha. Peran pemuda di sini tidak kalah penting. Keterlibatan mereka dalam setiap momentum menjadi estafet pelestarian dari nenek moyang.

“Menjelang tahun baru Imlek kami menghias vihara, kemudian menjelang malam tahu baru melaksanakan ibadah dan perayaannya menampilkan kesenian Barongsai,” katanya.

Tahun Baru Imlek memang bukan rangkaian kegiatan keagamaan, tetapi kebudayaan masyarakat Tionghoa. Namun, sebagai umat yang beragama tidak meninggalkan sisi agama dalam kebudayaan mereka.

“Iya, memang berbeda. Hanya saja, Agama Buddha besar di Cina. Saat perayaan Imlek pun kami juga melaksanakan ibadah sesuai agama kami (Buddha,red),” tegasnya.

Sebagai pemuda penganut Agama Buddha di Palangka Raya yang masih minoritas, ia juga terus berupaya mempelajari agama yang ia anut. Aktif dalam kegiatan vihara dan aktif berorganisasi kepemudaan.

“Sebagai anak muda tentunya harus terus menggali dan mempelajari tentang Agama Buddha, kepedulian anak muda itu sangat diperlukan untuk estafet agama ke depan,” tegasnya.

Sebagai generasi muda ia memahami makna toleransi setiap perbedaan. Hal itu perlu ditanamankan dan dipahami oleh anak-anak muda. “Keluarga saya campur, kakak saya ada yang Islam, adek ada yang Kristen, namun kami tetap kumpul bersama, misalnya saat sembahyang orang tua atau leluhur,” tambahnya.(*mut/abw)

Leave a Comment

Follow Me

KALTENGPOS DIGITAL

Edisi terbaru Kalteng Pos

About Me

Newsletter