GPOP-Kasus perkawinan usia anak di Kalteng berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kini berada di urutan ke-6 dari 38 provinsi di Indonesia dengan tingkat prevalensi 10,94 persen. Meskipun masih cukup tinggi, tingkast prevalensi ini merupakan penurunan signifikan jika dibandingkan tahun 2022, di mana Kalteng berada di urutan ke-2 dengan prevalensi perkawinan usia anak sebesar 14,72 persen.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kalteng Linae Victoria Aden mengungkapkan selayaknya perkawinan usia anak juga menjadi perhatian serius karena perkawinan usia anak erat kaitannya dengan peningkatan kasus stunting.
Jika mengacu kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan usia anak adalah perkawinan yang dilakukan oleh salah satu atau kedua belah pihak yang masih berusia di bawah 18 tahun. Lebih lanjut pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang melarang perkawinan usia anak, serta memberikan sanksi pidana bagi pelanggarnya.
Menurut Linae, kasus perkawinan usia anak di Kalteng masih cukup tinggi salah satunya lantaran pengaruh luasnya Kalteng secara geografis, dengan jumlah penduduk tersebar, kepadatan penduduk antar kabupaten dan kota se-Kalteng berbeda menjadi salah satu tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam penyampaian komunikasi dan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya pencegahan perkawinan usia anak ini.
Selain itu, seiring semakin teredukasinya masyarakat, sekarang kaum wanita sudah berani untuk speak up hal ini menyebabkan kasus perkawinan usia anak di Kalteng semakin terbuka. Menjadikan kasus yang selama tertutupi menjadi terbuka dan hal ini menyebabkan terjadi peningkatan kasus, sehingga kasus perkawinan usia anak di Kalteng masih terbilang tinggi.
“Masyarakat sudah semakin berani untuk melaporkan apabila ditemui kekerasan, jadi kalau ditanyakan apakah terjadi peningkatan saat ini memang ada peningkatan karena masyarakat sudah berani untuk melaporkan,” ujarnya.
Ia menjelaskan, pemicu terjadinya perkawinan anak merupakan sebuah hubungan yang komplit. Padahal, sejatinya Pemprov Kalteng dalam hal ini Gubernur Kalteng H Sugianto Sabran telah menganjurkan batasan usia menikah minimal 21 tahun bagi perempuan. Sebab, dengan memutuskan perkawinan anak, maka akan memberikan dampak ke berbagai hal termasuk memutuskan rantai kemiskinan lintas generasi.
“Dampak perkawinan anak dapat menyebabkan berbagai hal, seperti putus sekolah, memperburuk kemiskinan lintas generasi,” ucapnya.
Jika perkawinan usia anak tetap dilakukan, menurutnya anak yang menikah tersebut belum mampu memberikan pola asuh yang tepat, yang mana pola asuh dalam keluarga sangat penting karena berpengaruh pada pembentukkan awal karakter untuk generasi selanjutnya.
“Upaya pemerintah dalam menangani perkawinan usia anak ada tiga cara yaitu melalui regulasi, pendidikan dan kampanye, serta peningkatan kesejahteraan,” jelasnya.
Linae berharap para remaja dapat berperan sebagai agen perubahan. Mereka diharapkan menjadi penyebar informasi dan edukasi, pelopor perilaku sehat, pendukung remaja lainnya, relawan, dan penggerak masyarakat.
“Remaja memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam pencegahan stunting dan perkawinan anak. Dengan pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan yang memadai, remaja dapat berkontribusi dalam mewujudkan generasi bebas stunting dan perkawinan anak, serta Kalimantan Tengah yang sehat dan berkualitas,” tutupnya. (zia/abw)