MELALUI banyak perjalanan berliku untuk sampai di titik ini. Lulus dari Sekolah Tinggi Teologi (STT) GKE Banjarmasin, Pdt Tresia Bernald Rangka mengawali pelayanannya sebagai vikaris selama dua tahun di Desa Reong, Kabupaten Barito Selatan.
Setelahnya, ia bertugas di berbagai tempat, termasuk Desa Koling, Resort Pundu, dan Desa Tuwung. Kini, ia ditempatkan di Palangka Raya, melanjutkan pelayanannya dengan sepenuh hati.
“Jujur saja, jadi pendeta itu bukan pilihan. Tapi rasanya Tuhan benar-benar memanggil saya untuk pekerjaan ini,” ujarnya dengan senyum hangat, Sabtu (21/12).
Tahun 2007 menjadi awal langkah Pdt Tresia masuk ke dunia teologi. Lolos tes tertulis dan wawancara, ia resmi menjadi mahasiswa STT GKE. Saat itu, ia tinggal di asrama tinggi (Asting) yang menampung empat orang per kamar. Kehidupan asrama yang keras namun penuh kehangatan membuatnya banyak belajar.
Setelah semester empat, ia mulai tinggal di kos yang jaraknya cukup jauh dari kampus, sekitar 100 kilometer. Tak semua berjalan mulus. Ia sempat berhenti sejenak karena insiden kecelakaan, tetapi tekadnya tak pernah surut. Akhirnya, lima tahun berlalu dan ia berhasil meraih gelar S.Th.
“Sekolah di STT GKE saat itu nggak gampang. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum bisa lulus, seperti PB, PL, Bahasa Inggris, dan Homoletik. Tapi itu semua jadi bekal berharga buat saya sekarang,” kenangnya.
Setelah lulus, ia menjalani masa dua tahun sebagai vikaris di Barito Selatan. Di sana, ia belajar bagaimana menghadapi kehidupan nyata seorang pelayan Tuhan. Setelah itu, ia ditahbiskan menjadi pendeta penuh.
Ketika ditanya soal suka duka, Pdt. Tresia tak ragu berbagi. “Pekerjaan ini mulia banget. Kalau kita hidup dengan rendah hati dan bersyukur, kita nggak akan pernah kekurangan,” katanya.
Namun, tantangan pun tak sedikit. Mutasi antarjemaat menjadi salah satu hal yang kerap membuat hatinya berat.
“Setiap kali pindah, rasanya harus mulai lagi dari nol. Bangun kepercayaan jemaat, adaptasi dengan lingkungan baru, semuanya butuh waktu dan energi,” ungkap pendeta kelahiran Banjarmasin, 21 Juni 1989 ini.
Belum lagi jarak dengan keluarga yang sering menjadi pergumulan tersendiri. Tapi ia percaya, ketika melayani dengan tulus, Tuhan akan selalu memberikan kekuatan dan berkat yang tak terduga.
Bagi Pdt. Tresia, Natal adalah momen untuk kembali merefleksikan diri. Ia mengajak semua orang untuk mengalami perjumpaan dengan Yesus secara pribadi. Belajar dari semangat dan kesederhanaan para gembala di malam kelahiran-Nya.
“Yang paling penting, memperbaharui diri agar semakin taat mendengar dan melakukan kehendak Tuhan,” ujarnya penuh semangat.
Meski tantangan selalu ada, Pdt Tresia percaya bahwa Tuhan telah mempersiapkannya untuk melayani di mana saja.
“Saya diberkati untuk menjadi berkat buat orang lain. Itu yang selalu saya ingat, sehingga apa pun yang terjadi, saya tetap bersyukur,” ungkapnya.
Dengan hati yang tulus dan semangat melayani, Pdt Tresia terus menjadi inspirasi bagi jemaat yang ia pimpin. Karena bagi dia, melayani bukanlah soal tempat, tetapi soal hati. (*/abw)