GPOP-Di era modern saat ini, perempuan bukan lagi sekadar penonton dalam panggung kesuksesan laki-laki. Perempuan kini mampu mengambil peran utama dan memberikan kontribusi nyata dalam berbagai bidang. Bagi Hilyatul Asfia, Hari Kartini menjadi momen refleksi untuk sesama perempuan, sebuah ajakan untuk saling mendukung, membangun kekuatan, meningkatkan kepercayaan diri, berani bersuara, dan mengambil peran penting dalam masyarakat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Palangka Raya ini menjadikan nilai-nilai perjuangan R.A. Kartini sebagai pondasi utama dalam perjalanan kariernya. Semangat belajar, keberanian menyuarakan kebenaran, dan tekad untuk mengangkat derajat perempuan menjadi prinsip yang terus dipegangnya.
“Dalam dunia hukum, perempuan masih harus berjuang keras untuk mendapatkan posisi yang setara. Nilai-nilai perjuangan Kartini menjadi sumber inspirasi bagi saya untuk terus maju dan memberi dampak positif,” ujarnya dengan nada serius.
Kecintaannya terhadap dunia hukum tumbuh sejak duduk di bangku SMP. Saat itu, ia kerap menemani sang ayah menonton berita seputar pemerintahan dan ketatanegaraan. Dari kebiasaan tersebut, tumbuh rasa ingin tahu yang perlahan berubah menjadi kegelisahan terhadap berbagai permasalahan bangsa.
“Saya mulai bertanya-tanya, kenapa bisa seperti ini? Apa yang salah dalam sistem kita?” kenangnya, seolah mengajak kembali pada masa ia masih menjadi siswi sekolah menengah.
Tantangan dalam dunia hukum yang ia hadapi pun tak ringan. Mulai dari stereotip gender, ekspektasi sosial yang membatasi peran perempuan, hingga pandangan negatif yang justru datang dari sesama perempuan. Namun, ia memilih untuk tidak larut dalam hambatan tersebut.
“Saya memilih untuk terus belajar, membangun jejaring, mengembangkan diri, dan membuktikan bahwa perempuan bisa berdiri sejajar, serta berkontribusi secara intelektual dan profesional,” tegasnya.
Baru-baru ini, perempuan kelahiran 21 April ini mendapatkan kepercayaan untuk mewakili Indonesia dalam ajang World Youth Festival di Rusia, bersama sang suami. Dalam forum internasional tersebut, Hilyatul mengangkat isu hukum adat dan perlindungan hak-hak masyarakat lokal di Kalimantan.
“Saya harus melakukan riset mendalam, berdiskusi dengan berbagai pihak, dan berusaha menjembatani antara hukum positif dengan nilai-nilai kearifan lokal yang masih hidup di tengah masyarakat kita,” ungkapnya sembari tersenyum.
Tak hanya aktif dalam forum internasional, Hilyatul juga menulis buku berjudul Urgensitas Pemekaran Provinsi Kalimantan Tengah, sebagai wujud kontribusinya dalam kajian hukum daerah. Dalam perjalanannya sebagai akademisi, ia juga meraih sejumlah prestasi, di antaranya mendapatkan nilai tertinggi dalam seleksi CASN serta dinobatkan sebagai salah satu peserta terbaik dalam pelatihan dosen baru.
Namun bagi perempuan yang gemar travelling ini, pencapaian akademik belumlah sempurna jika belum berhasil membawa mahasiswanya menjadi juara dalam kompetisi hukum dan unggul secara akademik.
“Saya ingin menjadi dosen yang disukai dan dibanggakan oleh mahasiswa. Karena bagi saya, pencapaian terbaik seorang dosen adalah ketika ilmunya tumbuh dalam diri orang lain,” tutupnya dengan senyum hangat. (*nda/abw)