GPOP-Dalam kehidupan tiap individu penuh dengan tantangan dan ketidakpastian yang harus dilewati. Sebuah perencanaan menjadi elemen penting untuk membantu individu menentukan langkah menuju tujuan yang ingin dicapai. Eits, tapi jangan grusa-grusu ya! Pastikan resolusi yang bakal kamu capai itu realistis dan kamu mampu mencapainya.
Dari sudut pandang psikologi, perencanaan tidak hanya sekadar menyusun langkah-langkah ke depan. Namun, menggambarkan proses mental yang rumit dan melibatkan pengelolaan emosi dan pengambilan keputusan.
Psikolog Gerry Olvina Faz, menyebut bahwa manusia memiliki prefrontal cortex (PFC), yakni bagian otak yang berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif yaitu pembentukan kepribadian, mengatur tujuan, dan mengendalikan diri.
Kematangan PFC ini diperkirakan di usia 24-25 tahun, sehingga sebelum mencapai usia ini seseorang perlu pendampingan oleh orang tua, guru atau mentor. “Tujuannya untuk membantu mengarahkan tujuan-tujuan hidupnya termasuk pencapaian karir dan masa depannya,” jelasnya dengan nada serius.
Dalam usia kematangan otak pada 24-25 tahun seseorang sudah mulai dapat berpikir dengan panjang. “Mungkin saking panjangnya dia berpikir akhirnya munculah kecemasan dan ketakutan pada hal-hal yang belum terjadi,” ujarnya.
Ketakutan yang dialami oleh individu dapat berpengaruh terhadap keinginan belajar atau tekadnya. “Semakin dia banyak takutnya semakin dia nggak mau mencoba, semakin dia tidak belajar banyak semakin dia tidak berkembang,” bebernya.
Dampak rasa cemas ini juga berpengaruh pada pengalaman hidup seseorang. Apalagi jika seseorang sudah diselimuti dengan rasa takut yang berlebihan, maka timbul perasaan tidak berani untuk mencoba dan mengambil kesempatan tertentu dalam proses perjalanan hidupnya.
Namun, dukungan sosial menjadi hal penting sebagai dukungan untuk membantu menyusun perencanaan hidup seseorang, karena lingkungan mencerminkan pribadi seseorang. “Bahkan menurut saya dukungan sosialnya juga termasuk algoritma yang hadir di sosial media seseorang,” jelasnya dengan sedikit tersenyum.
Menurutnya jika seseorang melihat konten-konten tokoh dengan kisah hidup inspiratif dan peduli terhadap pengembangan diri, otomatis khalayak akan merasa bersemangat dan terinspirasi untuk mengikuti hal tersebut.
Bagi wanita yang sudah menjadi psikolog sejak tahun 2014 ini perencanaan yang efektif dimulai dengan membuat target yang mampu dicapai. “Karena setiap kali seseorang berhasil melakukan dan mencapainya maka akan muncul perasaan yang senang di hati,” jelasnya dosen IAIN Palangka Raya ini.
Ketika seseorang mengalami kesuksesan dalam pencapaiannya, maka timbul perasaan semangat dan motivasi untuk terus bergerak maju. Sehingga secara bertahap seseorang akan meningkatkan kesulitan dalam mendapatkan pencapaian selanjutnya.
Sebaliknya, jika seseorang menghadapi kegagalan maka muncul perasaan tidak berdaya, kecewa, sedih dan perasaan lainnya yang mempengaruhi self-esteem, yakni penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri. Kegagalan di masa lampau dapat menjadi umpan balik bagaimana seseorang dapat mengenali dirinya sendiri terutama jika seseorang gagal namun masih berusaha gigih untuk meraih yang ingin dicapai.
Namun, sikap self-resilience atau kemampuan seseorang untuk dapat bertahan dan menghadapi tantangan yang terjadi dalam kehidupannya menjadi penting diterapkan. “Jadi kita boleh sedih tapi kita tahu setelah ini akan bangkit lalu bikin perencanaan lagi, mengevaluasi dan tetap bergerak untuk berkembang,” tegas Gerry.
Pada usia remaja atau belum PFC matang, kemungkinan besar pendapat orang lain mempengaruhi seorang individu. Apalagi jika seseorang tidak mengenali dirinya sendiri dengan baik maka pandangan orang lain akan terlihat sepenuhnya benar.
Ketika pendapat seorang individu tidak sama seperti kebanyakan orang maka individu lain akan memberikan penilaian negatif yang menyebabkan kondisi stress. “Ketika stres pasti akan bertindak sebagaimana kebanyakan orang dan akhirnya bisa jadi mengubah arah hidup,” ujarnya.
Bahkan di usia dewasa apabila seseorang tidak mengenal dirinya sendiri dan tidak mengetahui tujuan hidupnya akan mudah bingung dengan pandangan orang lain.
Dosen Program Studi Bimbingan Konseling Islam di IAIN Palangka Raya ini juga mengatakan bahwa trauma masa lalu seseorang dapat menjadi pengaruh seseorang dalam membuat perencanaan hidupnya. “Kebanyakan manusia itu bergerak bukan atas dasar kesadaran diri namun digerakkan dari ketakutan yang dia sendiri nggak pernah memikirkan dari mana sumber ketakutan itu,” tuturnya,
“Jadi, kalau mau membantu seseorang yang punya trauma masa lalu, dia harus sadar betul tindakan dia saat ini,” terangnya. (*nda/abw)