GPOP-Seni teater sering kali menjadi pilihan bagi mereka yang ingin mengekspresikan diri dan menyampaikan pesan sosial. Hal ini tercermin dari pengalaman Mohammad Alimulhuda, meski awalnya tidak tertarik dengan teater namun akhirnya menemukan panggilan hidupnya dalam seni tersebut.
Saat masih di SMA, ia tidak tertarik untuk bergabung dengan ekstrakurikuler teater meskipun sering menyaksikan teman-temannya berlatih. Ia lebih tertarik dengan ekstrakurikuler lain.
”Saya tidak tertarik, meski sering menonton latihan dan pementasan mereka,” ungkap Huda, sapaannya, kepada G-Pop Kalteng Pos, Kamis (15/8).
Setelah lulus dan tidak melanjutkan kuliah, ia menghabiskan waktu di rumah hingga suatu hari adiknya yang mengikuti teater di sekolah mengajaknya bergabung. Tidak hanya sekolah, adiknya juga ikut teater di luar sekolah, yang dibentuk oleh pelatih teater dari sekolah mereka.
“Akhirnya saya mencoba, karena banyak teman SMA dulu yang ikut,” ujar lelaki yang lahir di Pekalongan, 11 Juli 1971 ini.
Bergabung dalam teater membuka mata dan hatinya. Latihan teater yang intens dan berkesinambungan mulai menarik perhatiannya. Teater bukan hanya tentang berlatih, tapi juga tentang bagaimana memproses sebuah harapan. Hal ini yang kemudian membuat Huda jatuh cinta pada teater.
Pengalaman tersebut membuka matanya terhadap dunia teater, ia mulai terlibat lebih dengan komunitas teater, termasuk di Yogyakarta hingga akhirnya ke Palangka Raya. Seiring berjalannya waktu, ia tidak hanya berpartisipasi sebagai pemain, tetapi juga mulai mengelola, memproduksi dan melatih anggota kelompok teater.
Salah satu aspek yang sangat menarik baginya dalam teater adalah bagaimana teater bisa menjadi medium untuk menyuarakan isu-isu sosial. Melalui naskah-naskah yang ia tulis, seperti drama berjudul “BURAM” yang mengkritik fasilitas yang diberikan kepada pejabat, ia selalu berusaha menyisipkan kritik sosial dalam setiap karyanya. Menurutnya, meskipun tema sosial yang diangkat tidak selalu berat, penting baginya untuk tetap menyampaikan pesan-pesan kritis melalui seni peran.
Selain itu, ia juga menyoroti pentingnya menggabungkan tradisi lokal dalam pementasan teater modern yang seringkali mengadopsi konsep-konsep teater Barat. Baginya, tradisi seperti wayang wong, ludruk, lenong dan mamanda merupakan bentuk teater asli Indonesia yang harus dilestarikan.
Meskipun mengadopsi metode teater barat, ia tetap berusaha mengintegrasikan unsur-unsur budaya lokal, seperti gerakan pencak silat atau tari tradisional ke dalam pementasan teater modern.
Namun, yang paling menonjol dari karyanya adalah bagaimana ia memanfaatkan puisi untuk menciptakan atmosfer dan emosi dalam sebuah pertunjukan. Ia pernah mengadaptasi cerpen menjadi naskah monolog dan menggabungkan puisi dengan gerakan teatrikal untuk memperkuat pesan yang disampaikan.
Baginya, memahami puisi tidak hanya sebatas pada emosi yang ingin disampaikan, tetapi juga latar belakang dari naskah tersebut. Ia meyakini bahwa memahami esensi puisi dan menerjemahkannya ke dalam pertunjukan teater adalah salah satu cara untuk menciptakan pementasan yang lebih mendalam dan bermakna.
“Dengan terus menggabungkan tradisi, kritik sosial, dan puisi, ia berharap teater tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga alat untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada masyarakat,” tutupnya. (rah/abw)