GPOP-Di tengah booming-nya makanan kekinian yang lagi hits di Indonesia, kayak minuman boba, kue kekinian, kimbab, ramen, dan masih banyak lagi, media sosial juga dipenuhi konten makanan yang bikin ngiler!
Di balik gempuran makanan kekinian itu, penting banget buat tetap lestarikan makanan tradisional kita. Kalau bukan kita generasi muda, siapa lagi yang bakal jaga?
Salah satu cara buat mempertahankan budaya leluhur adalah dengan hadirnya rumah makan khas Dayak. Seperti yang dilakukan oleh sepasang suami istri di Kota Cantik ini. Fahrianur dan Mona memulai usaha Kedai Om Nun, yang menjual masakan khas Dayak
Awalnya, kedai ini dibuka pada akhir tahun 2017 di Jalan Karet, dengan dua menu andalan, lalapan dan wadi patin. “Dulu, harga lalapannya cuma Rp10 ribu, sementara wadi patin kita jual Rp17 ribu,” cerita Fahrianur.
Dia dan sang istri awalnya buka kedai ini karena iseng, sekalian nunggu tes CPNS. “Waktu itu, kami nyewa bekas parkiran mobil di Jalan Karet, jadi cuma muat beberapa meja aja,” tambahnya sambil mengingat-ingat masa itu.
Setahun kemudian, Kedai Om Nun pindah ke Jalan Sisingamaraja V dan sampai sekarang masih buka di sana. Kedai ini buka setiap hari, dari jam 09.00 WIB pagi sampai 21.00 WIB, tapi kalau weekend buka sampai pukul 20.00 WIB.
“Tapi biasanya kami libur di tanggal 1 tiap awal bulan,” ujar Fahrianur.
Kedai Om Nun menyajikan berbagai masakan khas Dayak, mulai dari ikan yang diolah jadi wadi, juhu, tanak, sampai kalok. Menu makanan lengkap banget, mulai dari kandas sarai, potok, suna, rimbang dan masih banyak lagi.
“Resep masakan khas Dayak ini turun-temurun dari keluarga kami dan istri, makanan ini sebenarnya udah jadi makanan sehari-hari di rumah orang Dayak,” jelasnya.
Selain masakan khas Dayak, Kedai Om Nun juga punya penyetan, lalapan, dan menu umum lainnya. “Sekarang kita coba jangkau semua kalangan, walaupun tetap fokusnya di makanan Dayak,” jelas Fahrianur.
Pembeli di Kedai Om Nun didominasi oleh pekerja kantoran, tapi nggak jarang anak-anak muda juga datang dan pesan makanan khas Dayak. “Anak-anak kuliahan suka banget beli wadi,” katanya sambil tertawa.
Fahrianur dan Mona punya rencana untuk menurunkan resep masakan khas Dayak ini ke anak-anak mereka, supaya nggak berhenti dan bisa diwariskan ke generasi selanjutnya. “Harapannya, makanan tradisional jangan sampai hilang, apalagi punah begitu aja. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi?” ungkapnya dengan nada serius.
Selpiana, gadis asli Dayak Ngaju, dengan bangga menyuarakan cinta pada cita rasa warisan leluhurnya. “Makanan khas daerah itu selalu punya cita rasa otentik, nilai sejarah, budaya, dan kearifan lokal yang luar biasa,” ujar Selpi.
Perempuan yang akrab dipanggil Selpi ini punya banyak makanan khas Dayak yang dia suka, seperti juhu singkah, ikan wadi, tempuyak, tumbuk pucuk jawau, kakoleh, dan pulut. Menurutnya, makanan-makanan tersebut punya rasa yang unik dan enak karena menggunakan bahan-bahan alami dari alam sekitar.
Selpi, yang lahir di Perigi, mengatakan kalau masakan Dayak sering disajikan di acara-acara spesial, tapi juga jadi hidangan sehari-hari di rumahnya. “Tergantung ada bahan-bahan atau nggak sih. Kalau ada, pasti kami masak,” kata Selpi sambil terkekeh.
Sejak kecil, Selpi udah terbiasa makan masakan khas Dayak, dan itu jadi salah satu alasan kenapa dia jatuh cinta banget sama kuliner tradisional. Menurut Selpi, keunggulan makanan tradisional Dayak ada pada rasa otentiknya dan penggunaan bahan-bahan lokal yang alami banget.
“Karena lidah saya udah terbiasa sama makanan lokal, kalau makan makanan modern kadang rasanya kurang cocok. Mungkin karena nggak terbiasa,” jelas Selpi jujur.
Sebagai generasi muda, Selpi yang masih berusia 21 tahun ini juga ngeliat banyak banget dampak positif kalau anak muda mulai cinta sama makanan khas daerah. “Cinta sama makanan tradisional itu bisa nguatkan identitas kita sebagai bagian dari suku, sekaligus bisa meningkatkan ekonomi daerah dan nambah pengetahuan soal kuliner Nusantara,” tambahnya sambil tersenyum manis. (*ian/*nda/abw)