Sejarah dan budaya sudah sepatutnya dikenalkan kepada generasi muda, agar mereka tahu, cinta dan peduli terhadap budaya. Jelajah budaya, menjadi wadaah generasi muda membuka jendela pengetahuan akan sejarah dan budaya di Kota Palangka Raya.
NADA HIKMATUL ILMI-ARIANI SAFITRI
BUS rombongan jelajah budaya Kota Palangka Raya melaju dengan kecepatan sedang, bersiap berkeliling menuju cagar budaya di wilayah Kota Cantik. Puluhan pelajar dan siswa/siswi dari berbagai sekolah siap menyerap ilmu baru, ilmu soal budaya dan sejarah di Palangka Raya.
Jelajah budaya yang mereka jalani sangat menyenangkan dan mengasyikkan, bagaimana tidak? Mereka diajak jalan-jalan santai, sambil menerima ilmu yang sangat bermanfaat. Peserta diajak keliling ke enam cagar budaya di antaranya Cagar Budaya Tugu Tiang Pancang, Cagar Budaya Struktur Sandung Ngabe Sukah, Cagar Budaya Bangunan eks-Rumah Wali Kota ke-3 Kota Palangka Raya, lokasi ritual Tiwah (objek pemajuan kebudayaan/warisan budaya tak benda), Cagar Budaya Gedung Serbaguna Tjilik Riwut dan Cagar Budaya Rumah Tjilik Riwut.
Menginjakkan kaki di tujuan pertama yakni di Tugu Tiang Pancang, atau yang biasa dikenal dengan Tugu Soekarno di Jalan S Parman. Tugu ini salah satu proses awal pembangunan Kota Palangka Raya. Monumen ini diresmikan langsung oleh presiden pertama Republik Indonesia yakni Ir Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957.Tugu ini merupakan cagar budaya Kota Palangka Raya yang sudah di tetapkan oleh Wali Kota Palangka Raya pada tahun 2020.
Monumen tugu tiang pancang ini merepresentasikan bagaimana cagar budaya dapat bermanfaat untuk sekitarnya. Bukan hanya tentang jejak sejarah, tetapi juga dapat bermanfaat dalam sektor ekonomi dan sektor lainnya.
“Monumen ini mengingatkan kita akan rasa persamaan dan persatuan yang kuat di antara masyarakat Kota Palangka Raya di tengah keberagaman yang ada,” kata staff Disparbudpora dan pemandu kegiatan jelajah cagar budaya Dyah Paramita Candravardani.
Destinasi selanjutnya yakni Sandung Ngabe Soekah di pertigaan Jalan Dr Murjani, Jalan Darmosugondo, dan Jalan Nias. Keberadaan Sandung ini tidak lepas dari asal mula pembentukan kampung Pahandut dan Kota Palangka Raya. Sandung ini telah diresmikan oleh Walikota Palangka Raya sebagai cagar budaya Kota Palangka Raya pada tahun 2020.
Sandung adalah tempat persemayaman bagi mereka yang telah meninggal dunia. Menurut keterangan dari juru pelihara Sandung sekaligus keturunan dari Ngabe Soekah, sudah ada 12 tokoh yang disemayamkan dalam Sandung ini, termasuk di dalam nya tokoh penting pembentukan dan kemajuan kampung pahandut yakni Ngabe Anum Soekah.
Awalnya ada sebuah kampung yang bernama Dukuh Bayuh. Pada saat kepemimpinan Bayuh sebagai Pambakal (Kepala Desa), terdapat seorang tabib yang sangat terkenal. Ia memiliki kepandaian dalam menyembuhkan orang-orang yang sakit, baik luka yang ringan sampai penyakit yang parah. Ia bernama pak Handut, karena kepopulerannya itu akhirnya kampung tersebut lebih dikenal dengan sebutan Pahandut.
Ketika Soekah yang merupakan anak dari Bayuh, melanjutkan kepemimpinan ayahnya sebagai Pambakal (Kepala Desa), Desa Pahandut mengalami masa kemajuannya. Lantaran kesuksesan Soekah dalam memajukan desa, Ia diberi gelar oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1908 dengan bergelar Ngabe Anum Soekah.
Destinasi yang ketiga adalah Rumah Eks Wali Kota ke-3 Kota Palangka Raya Waldus Sandy. Cagar budaya ini terletak di Jalan PM Noor, dekat Bandara Tjilik Riwut. Saat ini cagar budaya ini sedang dalam proses rehabilitasi, untuk kemudian dialihfungsikan menjadi Museum Kota Palangka Raya. Dulunya rumah ini dibangun sebagai mess (tempat istirahat) bagi para insinyur dari Rusia yang membantu dalam pembangunan Kota Palangka Raya.
“Pembangunan kembali rumah ini, adalah contoh nyata dari perlindungan dan pemanfaatan dari adalah rumah bersejarah karena sudah berdiri lebih dari 50 tahun dan memiliki kekhasan arsitektur sebuah cagar budaya,” ucap Dyah Paramita Candravardani.
Uniknya rumah ini adalah ada bagian-bagian penguat yang menggunakan batu bata. Lalu atapnya terbuat dari sirap. Di rumah ini ada perpaduan arsitektur modern dan tradisional. Di bawah jendelanya masih ada batu sikat yang merupakan ciri khas dari seorang arsitek Belanda yang ikut dilibatkan dalam merancang Kota Palangka Raya. Ia adalah Van Der Pijl.
Lokasi keempat yakni tempat ritual tiwah di Jalan Sepan Raya Mahir Mahar Lingkar Luar, dengan menempuh jarak kurang lebih selama 40 menit dari pusat kota Palangka Raya. Ketua Majelis Hindu Kaharingan Kota Palangka Raya Parada menjelaskan bahwa ritual tiwah merupakan budaya dari suku Dayak Kalteng yang jarang terjadi.
Upacara tiwah merupakan rukun kematian tingkat terakhir bagi umat Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah. Upacara yang dipersiapkan dari 3-4 bulan lalu ini merupakan upacara tiwah secara massal. Sehingga upacara tiwah ini diikuti oleh 26 keluarga penanggung jawab dan 30 arwah yang ditiwahkan.
“Upacara tiwah massal ini mulai berlangsung sejak 3 Oktober 2024 sampai 15 November 2024,” tegasnya.
Peserta melanjutkan perjalanan menuju lokasi kelima yakni gedung serbaguna Tjilik Riwut yang berlokasi di Jalan Tjilik Riwut Nomor 5. Bangunan ini mulai dibangun pada tahun 1965 dan menjadi gereja Katolik pertama di Palangka Raya. Bangunan ini merupakan hasil pemekaran dari Paroki Santo Matius Kuala Kapuas. Hingga tahun 1963 gereja ini masih masuk kedalam Keuskupan Banjarmasin.
Juru pelihara gedung serbaguna Wilman menceritakan bahwa Gubernur Kalimantan Tengah Tjilik Riwut menjadi inisiasi dalam pembangunan gedung serbaguna ini untuk mewujudkan pemekaran sarana ibadah di Palangka Raya. Selain itu, dulunya gereja ini dibangun atas permintaan umat Katolik di Palangka Raya. Gedung serbaguna ini dirancang oleh Bruder Longinus.
“Gereja ini memiliki nilai historis karena dulu atas permintaan Tjilik Riwut, di dalam bangunan ini ada unsur kemerdekaan,” ujar ketua relawan Paroki Katedral Palangka Raya ini.
Bangunan ini dirancang dengan tiang penyangga berjumlah 17 tiang. Sementara, sisi bangunan ini sebanyak 8 sisi. Lalu, 1945 merupakan jumlah keramik pada altar. Hingga saat ini, jumlah keramik masih sama dengan saat gedung ini dibangun.
Pada tahun 1967 gedung serbaguna yang dulunya gereja Katolik ini mulai digunakan untuk beribadah. Wilam menceritakan dulu awal bangunan ini menggunakan atap dengan sirap kayu ulin. Namun, karena kondisi kayu yang sudah rapuh sehingga diganti dengan bahan seng spandek berwarna merah kecoklatan.
“Karena ada bangunan gereja baru jadi sekarang menjadi gedung serbaguna dan gedung ini sering dilakukan aktivitas berkaitan dengan agama Katolik” jelas Juru Pelihara sejak tahun 2022 ini.
Selesai mengunjungi gedung serbaguna Tjilik Riwut ini, para peserta mengunjungi lokasi terakhir yakni Cagar Budaya Rumah Tjilik Riwut. Rumah ini terletak di Jalan Jenderal Sudirman Palangka Raya.
Dulunya sebelum menjadi milik keluarga Tjilik Riwut, rumah ini merupakan rumah jabatan gubernur sebelum adanya Istana Isen Mulang. Sebelumnya Tjilik Riwut berpesan rumah ini untuk tidak dijual dan dijadikan tempat berkumpul dan berdiskusi orang banyak.
Pihak keluarga Tjilik Riwut sempat bingung dengan amanah yang disampaikan oleh Tjilik Riwut karena pihak keluarga tinggal di Jakarta dan Yogyakarta.
Putri ke-empat Tjilik Riwut Kameloh Ida Lestari mengatakan, sebelumnya pihak keluarga ingin menjadikan rumah Tjilik Riwut sebagai museum, namun setelah berdiskusi akhirnya rumah ini ditambah dengan restoran.
“Tjilik Riwut meninggalkan warisan berupa foto-foto zaman dahulu, karena rumah ini adalah rumah sejarah jadi sayang kalau fotonya hanya dinikmati anak dan cucu,” tambahnya.
Saat ini rumah Tjilik Riwut juga menyediakan menu-menu masakan Dayak dan masakan nasional. Namun Ida menceritakan bahwa banyak turis luar negeri yang datang menikmati masakan Dayak dubandingkan masakan nasional.
Rumah Tjilik Riwit ini sudah menjadi cagar budaya sejak tahun 2020. Di samping rumah Tjilik Riwut terdapat paviliun Tjilik Riwut yang dulunya digunakan sebagai tempat rapat setelah beraktifitas di kantor diluar kantor kedinasan dan juga kegiatan ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). (*)