GPOP-Pernikahan usia dini atau dalam undang-undang saat ini disebut pernikahan usia anak merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Baik dalam sosial, budaya, agama, hukum dan hak asasi manusia. Namun sayangnya hingga saat ini masih banyak masyarakat yang berspektif bahwa pernikahan usia anak merupakan cara yang dilakukan untuk menghindari perbuatan yang tidak diinginkan atau yang telah terjadi.
Faktanya apapun alasannya pernikahan usia anak tidak dapat dibenarkan atau bahkan menjadi sebuah budaya. Berdasarkan statistik di tahun 2023, Kalteng menempati peringkat ke-6 se indonesia pernikahan usia anak. Hal ini bukanlah suatu kebanggaan bagi kita, namun sebagai sinyal yang menandakan kedaruratan, masih maraknya pernikahan usia anak di Kalteng.
Perlu kesadaran dan gerakan bersama untuk menanggulangi permasalahan ini agar tidak semakin marak terjadi. Permasalahan yang terjadi diakibatkan pernikahan usia anak sangat kompleks, mulai dari putus sekolah, resiko kematian ibu dan anak, resiko melahirkan anak stunting, permasalahan ekonomi, permasalahan keluarga seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perceraian, meningkatnya angka pengangguran dan menghambat SDM generasi penerus.
Duta Generasi Berencana (GenRe) Kalteng 2024 Nadia Afifah dan Elia Azarya Anugerah berperan sebagai role model gerakan-gerakan anak muda, salah satunya menyosialisasikan pencegahan pernikahan anak. Nadia, mengaku sudah begerak memberikan edukasi kepada teman-teman sebayanya terkait hal ini.
“Hal ini sudah saya lakukan sejak lama, bukan hanya saat menjadi duta GenRe namun juga saat bergabung di eskul Pusat Informasi Konseling Remaja (PIK-R),” kata Nadia saat dibincangi G-Pop Kalteng Pos, belum lama ini.
Menurut Nadia, pernikahan usia anak beberapa tahun ini bukanlah sebuah hal yang asing di telinga banyak orang. Namun masih banyak yang acuh dan tidak peduli dengan hal tersebut. Hal itulah yang membuat hatinya tergerak untuk bergerak dan berdampak bagi sekitar dengan sosialisasi dan pendekatan terkhususnya kepada para remaja untuk menyadari betapa berbahayanya pernikahan usia anak.
“Akan sangat banyak dampak negatif yang akan di rasakan, sosialisasi yang saya lakukan juga membahas terkait sepuluh kesiapan berkeluarga,” ucap perempuan yang lahir di Palangka Raya, 5 Februari 2006 ini.
Ia menyebut, sepuluh kesiapan berkeluarga itu di antaranya kesiapan usia, fisik, mental, finansial, moral, emosi, sosial, interpersonal, life skill dan intelektual. Dengan para remaja memiliki dan mempersiapkan hal tersebut tentunya akan menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera, terencana dan berencana.
Hal terkecil yang dapat dilakukan dalam pencegahan usia anak dengan meningkatkan kesadaran untuk menjauhi berbagai tindakan yang berujung pernikahan usia anak, seperti melakukan hubungan seksual di luar nikah, bergontai-ganti pasangan, melakukan berbagai perilaku beresiko dan masih banyak lainnya. Hal lain yang dapat di lakukan dengan aktif di berbagai kegiatan positif, meningkatkan value dan potensi diri serta menyadarkan dan mengubah mindset masyarakat dilingkungan sekitar terkait pernikahan usia anak.
“Tentunya pencegahan ini tidak dapat dilakukan hanya dari aku atau kamu namun dari kita bersama,” tegas perempuan yang hobi menyanyi ini.
Sebelumnya, Nadia juga menjadi Duta GenRe Gunung Mas (Gumas) 2023. Ia banyak mendapatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman terkait pencegahan pernikahan usia anak. Tentunya perlu pemberdayaan remaja, meningkatan edukasi dan pemahaman terkait pernikahan usia anak, pentingnya peran dari lingkungan keluarga, pendidikan, pertemanan, hingga pemerintah untuk mencegah hal ini terjadi.
Pun dengan Elia Azarya Anugerah, sebagai Duta GenRe ia berkomunikasi, menyampaikan informasi dan edukasi terkait dengan dampak negatif pernikahan anak kepada teman sebaya dan masyarakat. Ia memberikan KIE terkait dampak negatif pernikahan anak dan mengajak anak muda mencintai diri sendiri dengan menggali potensi untuk bisa berpartisipasi dalam menginsipirasi di daerahnya.
“Menurut saya mencegah pernikahan usia anak dengan cara mengenal batasan diri, mengetahui informasi dampak negatif dan bisa berpartisipasi dalam membangun daerahnya,” tegas pria kelahiran Palangka Raya, 27 Maret 2007 ini.
Program yang sudah ia lakukan dalam memberikan KIE adalah GenRe Beraksi (GreBek).
“Saya berkolaborasi bersama dinas/instansi terkait dalam memberikan KIE terkait dengan pernikahan anak,” ucapnya. (abw)