GPOP-Usai menjalani ibadah puasa selama bulan Ramadan, tibalah hari kemenangan yang ditunggu-tunggu. Lalu bagaimana sebagai umat muslim menyikapi nuansa lebaran tersebut? Hal ini pun dijelaskan oleh ustazah Sri Handayani, bagaimana umat muslim dapat memaknai hari besar ini.

Ia menuturkan bahwa hakikat lebaran atau Idulfitri, sebagian ulama menyebut bahwa Idulfitri adalah hari kemenangan yang identik dengan hari kebahagiaan. Rasa bahagia menyelimuti kebersamaan bersama keluarga dan juga seluruh umat Islam. Bahagia atas kemenangan yang kita rasakan di momen hari raya muncul tatkala kita kembali berbuka setelah berpuasa satu bulan lamanya, melakukan ketaatan dengan terikat kepada aturan Allah swt, mampu menjaga hawa nafsu serta menjauhi segala sesuatu yang merusak ibadah.

“Idulfitri itu ibarat kita lulus ujian, suatu hal yang wajar, jika untuk semua itu umat Islam menunjukan rasa kebahagiaan dengan merayakannya walaupun dengan sederhana,” ucapnya saat dibincangi tim G-Pop.

Ia pun menjelaskan, dalam Islam Rasulullah saw memberikan keteladanan dalam merayakan Idulfitri, mengunjungi rumah para sahabat dan mendoakannya, para sahabat juga demikian, saling mengunjungi di antara mereka, juga melakukan ziarah ke makam keluarga, mendoakan mereka di pagi hari di hari raya setelah pulang dari tempat salat Idulfitri.

Di masa Kesultanan Abbasiyah, rasa syukur dengan saling berbagi makanan pada Idulfitri menjadi suatu kebiasaan di masyarakat. Bahkan perayaan bisa berlangsung selama lebih dari satu hari. Para Sultan Abbasiyah menggelar jamuan makan selama tiga hari. Aneka makanan halal di sajikan. Jalan-jalan diramaikan dengan musik dan pembacaan syair yang semuanya tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Dengan melihat sejarah ini, kita melihat bahwa umat Islam selain sangat berbahagia namun juga memiliki kesan yang sangat mendalam terhadap perayaan Idulfitri. Pun termasuk di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Setiap wilayah memiliki khas masing-masing dalam menyambutnya, tidak mengapa selama cara mereka tidak bertentangan dengan syariat Islam

“Selain itu, nuansa lebaran juga memiliki identik dengan hal yang baru, selain menjadi fitrah diri yang seperti baru terlahir tetapi memiliki pakaian baru sudah seperti tradisi yang turun-temurun dilakukan,” ucapnya.

Ternyata, dalam Islam pun memiliki pandangan terhadap hal ini. Tidak dipungkiri, budaya ini diterapkan setiap memasuki momen hari raya, apalagi jika keadaan masyarakat yang kehidupan ekonomi cukup mendukung. Seperti halnya di masa kejayaan Islam Abbasiyah yang masyarakatnya makmur, pada tanggal 1 syawal kaum muslimin mengenakan baju baru dan saling mendoakan.

“Rasa syukur bisa dilakukan dengan apa saja, termasuk salah satunya adalah membahagiakan orang-orang di sekitar, bisa saja kepada anggota keluarga ataupun yang lainnya,” katanya.

Menurut pandangan Islam, berdasarkan sabda Rasulullah saw, beliau menganjurkan umat Islam untuk mengenakan pakaian terbaiknya di hari lebaran. Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali ra, ia berkata, “Rasulullah saw telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan.” (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim).

“Berdasarkan hadist itu, maka kita dapati bahwa baju terbaik yang kita kenakan pada saat lebaran tidak harus baru. Mengingat tidak semua umat muslim memiliki cukup uang untuk membeli baju baru lebaran. Sikap bijak dalam keadaan harus kita utamakan,” jelasnya.

Berbeda halnya dengan pakaian, hal sederhana seperti menyuguhkan makanan pun sangat diperhatikan dalam Islam. Hal tersebut telah dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw karena momen itu bisa saling mendoakan. Anjuran untuk bertamu dan menikmati suguhan tersebut telah diterangkan lewat sebuah hadist. Dari Anas bin Malik “Bahwasanya Rasulullah saw mengunjungi rumah seorang kaum Anshar lalu makan di tempat mereka”. “Saat hendak pulang, beliau meminta disediakan tempat. Maka disedikanlah tempat untuknya. Lalu beliau sholat di tempat tersebut dan mendoakan mereka,” (HR.Bukhori).

“Dalam kitab Fathul Bari disebutkan bahwa hadist tersebut menunjukkan adanya anjuran untuk saling berkunjung. Sebab di sana ada doa bagi tamu dan untuk tuan rumah serta makanan yang disuguhkan,” ujarnya.

Ustazah Sri Handayani pun memberikan pesan agar tidak berlebihan memaknai budaya dalam Ramadan dan lebaran, yaitu memahami dengan benar apa yang Allah swt dan rasul perintahkan. bahwa ibadah selama ramadan maupun Idulfitri adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim.

“Tak hanya dua perkara itu tetapi semua hal, sehingga kita mengetahui apakah yang kita lakukan sudah sesuai dengan Islam ataukah belum, sehingga bernilai pahala di sisi Allah swt. Bagaimana untuk bisa memahaminya, satu langkah yang harus dilakukan adalah dengan cara mengkajinya, semangat melakukan thalabul ilmi atau menuntut ilmu agar tau bagaimana Al quran dan hadist memandangnya. Wallahu alam,” ucapnya sembari menutup penjelasannya. (*cho/abw)

Leave a Comment

Follow Me

KALTENGPOS DIGITAL

Edisi terbaru Kalteng Pos

About Me

Newsletter