GPOP-Nuansa Idulfitri terasa begitu hangat. Ketika keluarga besar berkumpul bersama dengan sukacita. Setiap rumah terpancar kehangatan dan keceriaan. Berlapang dada mereka yang saling memaafkan.
Setelah menunaikan salat Id di masjid, suara hangat setiap keluarga saling mengucapkan maaf dan pelukan hangat mengisi udara pagi itu. Orang-orang berjabat tangan, memohon maaf satu sama lain, dan berbagi senyum bahagia. Di tengah keramaian dan keceriaan tersebut, tidak ada perbedaan status sosial atau perbedaan kekayaan yang terasa, karena semuanya menyatu dalam ikatan kebersamaan dan persaudaraan.
Di balik kegembiraan itu, ada rasa syukur yang mendalam atas kesempatan bertemu dengan Ramadan dan tunai melaksanakan ibadahnya. Diberikan kesempatan pula bertemu dengan hari yang fitri itu.
Kegembiraan menyambut Idulfitri pun turut dirasakan oleh Ema Eka Sari, seorang mahasiswa semester VI di Institut Agama Islam (IAIN) Palangka Raya. Ia pun sangat menantikan momentum berkumpul bersama keluarga besar yang biasa dilaksanakan pada Idulfitri.
Mudik ke kampung halaman, tepatnya di Murung Raya sudah sejak sebelum lebaran. Sebagai perantau di Palangka Raya yang menjalankan pendidikan sebagai seorang mahasiswi, pulang kampung menjadi hal yang sangat ditunggu.
”Idulfitri merupakan hari kemenangan, keharmonisan dan hari kebahagiaan untuk berkumpul dengan semua keluarga dan kerabat,” kata Ema, saat dibincangi G-Pop Kalteng Pos, beberapa waktu lalu.
Momentum Idulfitri ini juga waktu yang tepat untuk saling memaafkan atas segala kesalahan kepada sesama, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Saling memaafkan menjadi hal wajib dilakukan baik dalam keluarga ataupun orang sekitar. Hal yang paling utama yaitu meminta maaf kepada keluarga dan kerabat terdekat.
“Setiap Idulfitri dan melakukan minal aidin wal faidzin itu selalu ada makna mendalam dalam kata itu, bukan hanya setahun sekali, hanya saja pada saat Idulfitri mohon maaf menjadi sesuatu yang sangat berbeda dari hari-hari biasa lainnya,” ujarnya.
Ema pun mengatakan dirinya berusaha agar tidak mudah sakit hati, hal itu menjadikan ia lebih mudahkan untuk memaafkan orang lain. Lantaran, setiap ia merasa sakit hati, hal tersebut akan terlupakan setelah beberapa hari ke depan.
“Memaafkan seseorang menjadi suatu hal yang susah bagi beberapa orang yang sangat menyakiti, namun kita dapat mengontrol diri untuk menahan amarah serta bisa memaafkan seseorang. Dengan memperbanyak bersabar apalagi pada saat bulan Ramadan, kita harus memperbanyak sabar dan lebih ke mendekatkan diri pada Allah swt,” jelasnya.
Rahmat Fadilah pun memiliki pernyataan yang sependapat dengan Ema. Menurutnya, memiliki sakit hati adalah sifat manusiawi, namun pada dasarnya sesama umat muslim saling memaafkan itu sudah menjadi kewajiban dan tidak perlu menunggu lebaran untuk bermaaf-maafan.
“Saat memaafkan orang yang menyakiti diri maupun perasaan dapat dengan cara mengontrol diri yaitu melupakan perbuatan seseorang tersebut yang menyakiti kita dan memaafkannya,” ucapnya.
Momentum sakral yang ia rasakan saat lebaran yaitu adnya meminta maaf dengan orang tua, adik dan kakak, serta kelurga yang lainya. Ia pun membagikan cerita momen yang sangat ia nantikan saat lebaran, yakni dapat berkumpul bareng keluarga hingga menyantap hidangan lontong sayur buatan neneknya. Ia pun sangat menyayangkan tidak dapat merasakan moment lebaran lebih lama di tahun ini dikarenakan tuntutan pekerjaan yang menanti. (*cho/abw)